Monday, April 12, 2010

Penerapan Hukum Rimba oleh Bangsa yang Beradab

Penerapan Hukum Rimba oleh Bangsa yang Beradab



Laporan pemerintah Australia “Overcoming Indigenous Disadvantage” yang diterbitkan Kamis (2/7) memperlihatkan bahwa kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat suku asli Australia (Aborigin) sangat memprihatinkan, mereka boleh dibilang adalah warga paling miskin dan mengenaskan di Australia yang diyakini merupakan tanah leluhur mereka. Saya mengira-ngira bahwa kebudayaan dan identitas mereka akan semakin luntur dan suatu saat akan punah selamanya. 


Valcoff Presiden Cekoslovakia mengatakan bahwa untuk menghancurkan suatu bangsa maka kebudayannya dulu yang pertama kali di hancurkan. Saya tidak sepenuhnya yakin dengan perkataan Presiden Ceko tersebut, kebudayaan tentu harus dilestarikan sebagai identitas suatu bangsa, tetapi bangsa yang kebudayaannya hilang atau terpengaruh dengan budaya asing belum tentu akan hancur, tentu Pak Valcoff punya alasan tertentu ketika mengatakan hal tersebut, dia seorang pemimpin Negara, tentu dia punya dasar dalam mengeluarkan kata-kata seperti itu.

Saya beberapa kali membaca berita di Indonesia mengenai eksploitasi kekayaan alam suatu daerah dan dampaknya pada masyarakat lokal, seperti eksploitasi hutan di Kalimantan dan dampaknya pada kebudayaan suku Dayak, eksploitasi Hutan di Papua Barat dan dampaknya pada kehidupan masyarakat Moi, eksploitasi tambang emas dan tembaga di Papua dan efeknya terhadap kerusakan hutan dan manusia Papua yang hidup disekitarnya, dan masih banyak lagi kasus-kasus yang mungkin bukan saja terjadi di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.

Kita ketahui bahwa peradaban manusia selalu kearah depan atau maju dan manusia cenderung memajukan taraf hidupnya, peradaban suatu bangsa pun demikian, tetapi saya kira proses peradaban suatu bangsa dengan bangsa lainnya tidak sama dan dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Endotherm dan Eksotherm

Dalam termodinamika kimia kita mengenal dua reaksi yaitu reaksi endotherm dan reaksi eksotherm. Reaksi endotherm adalah reaksi yang memerlukan energy (panas) agar reaksi itu dapat berjalan, energy yang diperlukan itu diambil dari lingkungan sekitarnya. Sedangkan reaksi eksotherm adalah reaksi yang melepas energy ke lingkungan sekitarnya, reaksi ini menguntungkan dari segi energi. 
Proses-proses menuju kemajuan atau peradaban saya analogikan sebagai proses-proses reaksi endotherm menghasilkan produk yaitu kemajuan itu, dimana reaksi ini membutuhkan energy yang diambil dari alam atau eksploitasi alam. Apakah bisa kita menganalogikan reaksi eksotherm dalam peradaban manusia? Menurut saya bisa! Keterbatasan energy membuat manusia memanfaatkan berbagai cara untuk memenuhinya dengan kemajuan teknologi yang sudah dicapainya, contohnya modifikasi Gen pada tanaman, pemanfaatan energy surya, dan penemuan sumber-sumber energy baru yang terus dikembangkan demi pemenuhan kebutuhan energy manusia yang semakin hari semakin berkembang seiring semakin banyaknya manusia (juga semakin banyaknya kebutuhan manusia yang menurut saya tidak begitu perlu). Semakin berkurangnya cadangan energy menunjukan bahwa peradaban “endotherm” lebih dominan dari peradaban “eksotherm”, hal ini memang gawat tetapi saya kira hal itulah yang kita hadapi sekarang.

Kesetimbangan secara global, penerapan Hukum rimba oleh manusia

Ketika berbicara sebagai manusia global, kita tahu bahwa masalah energy adalah permasalahan bersama yang harus kita hadapi bersama, dan yang paling keras menyuarakannya adalah “bangsa-bangsa barat”. Jujur saja saya tidak terlalu ambil pusing dengan permasalahan energy, mungkin karena saya berasal dari daerah yang indah dan kaya akan sumber daya alam.
Kasus-kasus eksploitasi sumber daya alam demi “kemajuan” dan hubungannya dengan konflik sosial ekonomi yang terjadi di Australia(ingat aborigin), Amerika (ingat Indian), dan Indonesia (Papua, Kalimantan dll) merupakan suatu contoh proses reaksi secara “endotherm” yang memerlukan Energi dari lingkungan. Ketika kita berpikir tidak secara global, sebagian besar eksploitasi yang dilakukan di suatu daerah, tidak dilakukan oleh orang-orang di daerah itu sendiri, sebagian besar dilakukan oleh orang-orang dari luar yang peradabannya “lebih maju” dengan alasan untuk memajukan daerah itu.

Sebenarnya suatu bangsa yang “lebih beradab” sedang berekspansi guna memenuhi energy yang diperlukannya untuk lebih lagi “beradab” karena ketersediaan energy yang dimiliki mereka tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan mereka demi suatu peradaban yang lebih baik yang mereka sebut sebagai “kemajuan”. Alasan untuk membantu memajukan suatu daerah saya kira hanya omong kosong belaka. Suatu bangsa hanya dapat dimajukan oleh putra-putri bangsa itu sendiri!.

Ternyata beberapa manusia (terutama manusia yang menganggap dirinya “beradab”) yang juga merupakan makhluk bertulang belakang seperti hewan menerapkan hukum yang sebenarnya diciptakan manusia dan dikenakan kepada hewan, yaitu Hukum Rimba dimana siapa kuat siapa memang, siapa berkuasa menentukan, hanya yang mempunyai pentung yang bisa memukulkannya.

Masyarakat suku di Kalimantan, Suku Moi di Papua barat, dan banyak suku-suku di Papua menganggap Hutan sebagai sumber cadangan makanan mereka atau sebagai devisa untuk kelangsungan peradaban mereka. Hutan itu adalah sumber “Energi” yang bangsa mereka butuhkan untuk suatu proses kemajuan yang sedang di kejar oleh seluruh bangsa. Sayangnya cadangan “Energi” untuk kemajuan peradaban mereka bukannya digunakan secara prioritas untuk mereka tetapi dibawa lari keluar, diperas dan dicuri secara terang-terangan dengan alasan maksud mulia yang saya kira hanya mengganggu keharmonisan. Saya kira manusia dan bumi sebenarnya diciptakan dalam suatu keharmonisan dan kesetimbangan antara lingkungan (Sumber daya alam) dan system (manusia dan perdabannya), pola hidup setimbang itu sebenarnya pernah dilakukan tetapi dianggap ketinggalan zaman, tidak beradap atau kurang maju.

Kesetimbangan itu telah dirusak oleh suatu definisi kemajuan yang salah tetapi yang sudah diadopsi oleh sebagian besar manusia akibat didikte oleh bangsa yang mendefinisikan arti kemajuan itu sendiri. Kemajuan disetarakan dengan kekayaan, yang kaya adalah yang memiliki permata, atau yang sudah pergi berlibur ke paris, anehnya sekarang taraf kekayaan naik lagi, yang kaya itu yang sudah menikah diatas pesawat atau jalan-jalan keluar angkasa. Definisi kaya seperti itu saya kira budaya yang sudah diadopsi oleh seluruh dunia. Dulu ditempat saya di Papua orang-orang masih makan dengan daun pisang sebagai tempat makan, hanya memakai tangan dan atau semacam sumpit dari kayu, saya juga bangga dengan budaya Indonesia yang makan hanya dengan tangan yang masih dipraktekan hingga saat ini. Di eropa pernak-pernik diatas meja sangat banyak, sendok besar, sendok kecil, sendok sup, garpu, pisau, tisu yang saya kira benda-benda ini tidak begitu perlu dan hanya menggangu kesetimbangan energy tetapi kita juga telah mengadopsinya. Mereka yang berteriak dan mengumandangkan hidup secara hemat dan bijaksana padahal merekalah yang tidak hemat dan sangat tidak bijaksana, mereka meneriakinya karena saya yakin mereka sudah kehabisan energy dan merusak keharmonisan alam dan mereka sadar sehingga meneriakinya dan meminta kita untuk menggung beban yang mereka buat itu bersama-sama. Aneh tapi nyata.

Suatu proses keharmonisan dan kesetimbangan hidup dengan alam yang dipraktekan oleh beberapa orang, dirusak dan dihambat. Ini merupakan proses pembunuhan budaya secara halus, atau penghancuran suatu bangsa dengan cara menghancurkan kebudayaannya, menghilangkannya dan menggantikannya dengan “kebudayaan” yang dianggap lebih “beradab” yang sebenarnya biadab dan menuju kepada kehancuran. 

Derajat ketidak-teraturan (Entrophy)

Hukum kedua termodinamika mengenai Entropi atau derajat ketidak-teraturan menyatakan bahwa kekacauan atau ketidak-teraturan dari sistem dan lingkungan cenderung semakin membesar. Saya kira memang dunia ini sedang menuju kepada kehancurannya, tetapi maukah kita mempertahankan “Energi itu” dan mempergunakannya dalam suatu reaksi demi peradaban yang diidam-idamkan itu atau kita merelakannya begitu saja. Siapkah kita mempertahankan eksistensi bangsa kita dalam pertarungan di Rimba yang jahat ini? Atau kita terlalu bodoh untuk gampang dikelabui? Saya kira sekarang saatnya untuk mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang kita ambil demi eksistensi bangsa di hari depan.


Herzlich Wilkommen in Indonesien Barack Obama!

Rudolf S Bonay

No comments:

Post a Comment