Pada tahun 1923, Kepala Suku Deskaveh pemimpim Suku Indian dari Kanada melakukan perjalanan ke Geneva Liga Bangsa Bangsa untuk memohon pengakuan hak-hak adat. Pengajuan itu dilakukan sejak Liga Bangsa bangsa sampai PBB baru berbuah hasil 1982. Perjuangan baru mendapat pengakuan 60 tahun kemudian.
Bukan suku Indian saja yang berjuang tetapi suku Maori di Selandia Baru juga berjuang sejak 1840 memprotes Perjanjian Waitani (Treaty of Waitangi). Kepala Suku Maori TW Ratana melakukan perjalanan ke London dengan rombongan besar dari Selandia Baru melakukan Petisi kepada Raja George tentang hak-hak tanah di Selandia Baru. Dia juga mengirimkan delegasi ke Geneva pada 1925 untuk membicarakan hak-hak masyarakat adat suku bangsa Maori. Memang hasil dari perjuangan itu ditolak. Baik Raja George dari Inggris dan Liga Bangsa Bangsa menolak tetapi tidak memupus semangat bangsa bangsa pribumi untuk memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri.
Bagaimana dengan suku-suku bangsa pribumi di tanah yang secara perlahan dan pasti telah kehilangan tanah tanah adat atas nama pembangunan dan transmigrasi.
Perkebunan dan transmigrasi di Kabupaten Keerom telah membuat masyarakat asli di sana tergusur dan menjadi minoritas, mereka kehilangan areal berburu dan sagu sebagai makanan pokok mereka. Studi terakhir yang dilakukan oleh SKP Keuskupan Jayapura, April 2008 menyebutkan masyarakat Arso makin tersisih dan jumlahnya makin sedikit dari penduduk pendatang.
Kini dalam sejarah, hak-hak masyarakat adat bangsa pribumi diakui. Dengan suara mayoritas, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengeluarkan Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat. Deklarasi dikeluarkan dalam pertemuan ke 61 Majelis Umum PBB. Dengannya dunia mengakui sekitar 370 juta warga adat di muka bumi ini memiliki hak menentukan nasib sendiri, hak atas tanah dan sumber daya alam. Hanya Australia, Kanada, Selandia Baru dan Amerika Serikat menentang keputusan tersebut. PBB membentuk kelompok kerja untuk melihat sejauhmana kepentingan masyarakat adat. Pada masa itu sudah jelas warga adat seluruh dunia didiskriminasi dan berada dalam situasi menyedihkan. Contohnya banyak: Kurdi di Irak, Indian di Amerika Tengah dan di Indonesia ada Dayak di Kalimantan dan Papua.
Pengalaman buruk masyarakat pribumi yang oleh Filep Karma disebut terpinggirkan dan digusur atas nama pembangunan. Kepentingan pribumi tertindas dan terpinggirkan jika di wilayah kehidupannya ditemukan sumber daya alam berharga di tanahnya. Hal ini membuat mereka digusur begitu saja demi minyak atau kayu tanpa ada pemberitahuan. Apalagi melibatkan mereka, kasus Kontrak Karya Freeport dilakukan saat bangsa bangsa pribumi Papua masih dalam status sengketa Belanda dan Indonesia. Kontrak itu dilakukan tahun 1967, dua tahun sebelum bangsa pribumi Papua melakukan Pepera atau Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969. ”Leo van der Vlist, Direktur Pusat Masyarakat Adat Belanda NCIV, menilai apakah pengakuan itu mampu meredam pelanggaran hak-hak adat bangsa pribumi. “Ini sekedar pengakuan universal yang mengikat secara moral termasuk negara-negara penentang!” tegasnya.”Memang pengakuan ini tak memiliki akibat hukum dan berbeda dengan konvensi PBB yang punya kekuatan hukum. Biasanya konvensi atau traktat tahap lanjutan sebuah pengakuan PBB. Adapun suatu saat pengakuan hak-hak adat jadi sebuah konvensi bukan berarti urusan jadi gampang. “Konvensi masih membutuhkan ratifikasi negara penandatangan supaya bisa jadi hukum positip!” urai Van Der Vlits dalam wawancaranya dengan Radio Nederland Hilversum Belanda belum lama ini.
PBB juga telah membentuk forum tetap urusan warga adat yang dapat memberikan rekomendasi tindakan. Selain itu hak-hak warga adat, tidak hanya baik bagi mereka sendiri, tapi juga bagi seluruh dunia.”Kepedulian tinggi atas bumi ciri khas masyarakat adat,” ujar Leo van der Vlits.””Tanah bagi bangsa bangsa pribumi termasuk orang Papua sebagai identitas dan kehidupan dalam kebudayaan dan keberadaan masyarakat adat. Ada hubungan spritual mendalam dengan lingkungan hidup alias kelestarian alam. Bagi masyarakat pribumi di Depapre memiliki upacara Tiyatiki untuk melakukan perlindungan terhadap sumber daya alam laut di kampong mereka.”Kampanye film mantan Wapres AS Al Gore dan isu perubahan iklim akibat pemanasan global, warga Barat kini terbuka atas pesan-pesan pelestarian alam, senada dengan semangat luhur suku-suku asli. Semua itu, membawa pandangan baru lebih menghormati masyarakat adat.
Contoh lain pemerintahan otonomi berdasar masyarakat adat adalah Inuit di Greenland. Mereka memperoleh hak dari Denmark, negara penguasa Greenland.””Hal serupa dialami warga Indian di Kanada. Mereka mendapat tanahnya dan dalam beberapa bidang memiliki pemerintahan sendiri. Sayangnya hak itu tidak berlaku atas sumber daya alam di tanah tersebut. Hak sumber daya alam mutlak di tangan pemerintah Kanada. Walau belum sempurna, masyarakat adat-masyarakat adat tersebut boleh dibilang bernasib baik. Karena mayoritas masyarakat adat sama sekali kehilangan haknya. Pemerintah nasional tidak memberikan apa yang menjadi hak adat.
Jika disimak yang membedakan masyarakat adat dengan masyarakat lainnya adalah, tanah bukan semata mata alasan ekonomi, tetapi juga religi dan sosial budaya, tempat leluhur dimakamkan dan lokasi keramat yang harus dijaga.
Masyarakat adat Papua sendiri sangat beragam. Karena itu keragaman ini harus digunakan dalam kebijakan yang menyangkut keberlangsungan hidup mereka. Keanekaragaman itu meliputi bahasa, struktur sosial, kepemimpinan, sistem mata pencaharian dan ekologi, serta kepemilikan tanah (hak adat).Dilihat dari segi bahasa maka para ahli bahasa membagi menjadi dua kelompok utama yaitu Austronesia misalnya Waropen, Wandamen, Biak, Tobati, Iha, Amabai, Maya dan lain-lain. Kedua Non Austronesia (Papua) meliputi Dani, Sentani, Mee, Asmat, Muyu, Meybrat. Jadi total ada sekitar 250 suku bahasa di tanah Papua.Seluruh dataran New Guinea (PNG, Provinsi Papua Barat dan Papua) memiliki jumlah penduduk sedikit yakni sebesar 0,01 % dari keseluruhan penduduk dunia, tetapi dari segi keanekaragaman mempunyai 15% dari jumlah keseluruhan bahasa di dunia dan terdiri dari lebih 1200 suku. PNG sendiri memiliki sekitar 850 bahasa dan Provinsi Papua 250 bahasa suku. Struktur sosial meliputi sistim kekerabatan, patrilenal yaitu Asmat, Sentani, Biak, Waropen, Maybrat, Dani dan lain lain. Bilateral yakni bisa mengikuti garis ayah atau ibu di pedalaman Sarmi. Ambilineal keluarga memutuskan untuk mengikuti ayah dan ibu. “Hal ini penting karena menyangkut warisan atau kepemilikan tanah,” tutur Dr JR Mansoben Antropolog Universitas Cenderawasih belum lama ini di Jayapura.
Lebih lanjut jelas dia bahwa pembagian masyarakat menurut Moyte dan Moyte. Moyte ini mengenai pembagian masyarakat kedalam dua kelompok. Masyarakat yang menggunakan sistim ini Asmat aypem cewi dan aypem uripis, Waropen buriworai dan buriferai, Dani , waita dan waya. Sistim Moitey ini sangat berpengaruh erat dengan pemilikan akan sumber daya alam.
Kepemimpinan atas dasar warisan, atau atas dasar upaya pribadi untuk mencapai kedudukan tersebut. Sistem kepemimpinan atas dasar pewarisan didasarkan atas sistim kerajaan di Raja Ampat, Fak fak, Kaimana atau sistim Ondoafi atau Ondofolo di Sentani, Genyem, Tabla dan Waris. Sistim pria berwibawa (Bigmen) seorang bisa menjadi pemimpin karena kualitas pribadi yang dimilikinya, kemampuan berdagang, magis, berorganisasi dan lain lain. Misalnya di Suku Dani, Asmat, Maybrat, Mee dan Muyu. Kepemimpinan campuran yang bersifat situsional, Waropen, Biak, dan Wandamen. Sistem kepemimpinan ini harus diperhatikan juga karena menyangkut kepemilikan. Kesatuan sosial juga penting dalam kehidupan orang Papua adalah masyarakat kampung (Yo, Mnu, nu). Tiap kampung adalah suatu wilayah merdeka, karena memiliki kawasan sendiri dan tidak berada di bawah kawasan kawasan lainnya.
Sedangkan kepemilikan dari berbagai studi yang dilakukan tercatat dua sifat besar yakni komunal dan individual. Komunal didasarkan pada klen, marga atau keret. Keret atau klen yang mempunyai kewenangan untuk menguasai tanah danakan diatur pemanfaatannya oleh kepala klen. Hak individual terdapat pada beberapa suku di Papua, karena itu tanah pun atas dasar klen atau individu, mau pun ada yang dimiliki bersama (kampung).
Bagi masyarakat adat di Papua tanah memiliki arti yang penting sebagai kehidupan itu sendiri, dan juga seorang ibu yang melahirkan, membesarkan dan menguburkan manusia. Manusia bisa mati tetapi tanah tetap abadi. Tanah memiliki tiga fungsi sosial yaitu merupakan alat untuk menyatukan kalau ada izin dari pemilik, religi dan ekonomi yakni untuk menyiapkan sumber kehidupan.
Masyarakat adat menurut Konvensi ILO 169 (1989)/Deklarasi PBB tentang Hak hak Masyarakat Adat yakni Masyarakat asli (Tribal) yang berdiam di neagar negara yang merdeka, di mana kondisi sosial, budaya dan ekonomi mereka berbeda dari masyarakat lainnya di negara tersebut, dan statusnya, baik seluruhnya maupun sebagian diatur oleh adat dan tradisinya, atau dengan hukum/peraturan yang khusus.
Sesuai dengan Deklarasi Umum PBB tentang Penduduk Pribumi, maka Indigenous People mencakup penduduk di suatu wilayah atau negara, warga negara dan anggota dari sebuah kelompok masyarakat yang minoritas, diduki oleh masyarakat modern dengan perangkat negara, bangsa mereka, yang masih tetap berada di atau merujuk dirinya eks wilayahnya (kampung, tanah, leluhur, negeri, tanah air) dengan identitas budaya, seni serta cerita yang melekat pada wilayah tertentu secara tradisonal. Ada juga kata lain yang sering dipakai dan mirip dengan kata Indigenous People adalah Firts Nation seperti yang digunakan di Amerika Serikat dalam menyebut suku-suku Indian. Aborginal di Australian dan juga Maori di Selandia Baru.
Dominggus A Mampioper
No comments:
Post a Comment