Tuesday, June 19, 2012

Konflik Papua, Denias dan Di Timur Matahari




Seorang bocah berdiri dengan seragam merah putih yang lusuh tanpa alas kaki disebuah tanah lapang dan memandang ke udara berharap ada pesawat yang mendarat. setelah beberapa saat ia berlari menuju gubuk kayu yang ternyata adalah sekolah dimana teman-temannya sudah menunggu, dengan wajah lusuh ia berkata "teman-teman, guru pengganti belum juga datang", yang disambut wajah lusuh teman-temannya. setelah diam beberapa saat wajah lusuh bocah yang bernama mazmur itu berubah menjadi senyum dan berkata "sudah, kita belajar menyanyi saja", yang juga disambut tawa oleh teman-temannya. Demikian kutipan awal film "di Timur matahari" yang diproduksi oleh Alenia picture.


Sebelumnya, Alenia picture juga memproduksi film "Denias, Senandung diatas Awan" (Film kisah nyata) yang ber-temakan sama dengan film Di Timur Matahari. Denias adalah seorang Anak di daerah pegunugan tengah Papua yang rindu akan hadirnya Guru, begitu pula dengan Mazmur,Thomas dkk, ditengah konflik dan perang suku pada Film Di Timur Matahari.



Menonton kedua film tersebut sangat menyentuh hati saya, mungkin karena saya berasal dari Papua dan memory sewaktu kecil di Papua. tidak sedikit adegan-adegan dalam film tersebut membuat saya susah untuk menahan air mata.


saat denias membaca surat Maleo, seorang tentara yang menjadi guru mereka,ia menangis :

kita harus hidup dengan satu tujuan
kita harus hidup dengan tertawa
kita harus hidup dengan tekad
dan yang terpenting..
kita harus hidup..
walaupun ada seribu masalah..


saat denias berlari melewati gunung dan lembah untuk mencari sekolah dimana ia dapat belajar, ia berlari sambil bernyanyi :

satu hari kupastikan diriku
akan pergi meraih cita-cita
takkan, harapanku tak akan mati
seperti senandungku yang tak henti

dari balik awan kulihat cahaya
dari balik awan kudengar jawaban
dari balik awan kukejar impianku
dari balik awan kan ku genggam matahari.

dan tangisan Mazmur saat melihat ibunya dipukul oleh ayahnya, saat Thomas menangis waktu ayahnya terbunuh, dan lain sebagainya.

Adegan-adegan tersebut sungguh memilukan hati, pilu karena film tersebut mengajak saya teringat masa kecil dipapua, pilu karena kenyataan seperti itulah yang masih terjadi di tanah leluhur, tanah Papua.

Terlepas dari kedua film tersebut, akhir-akhir ini kita masih mendengar konflik yang terjadi di Papua, penembakan di jayapura, perang suku di timika, konflik di wamena dan lain sebagainya. Sepertinya cuma berita meresahkan yang ada jika kita menonton berita tentang Papua di Tv-Tv nasional. Papua memang terkenal dengan keindahan alamnya, terkenal dengan sumber daya alamnya, terkenal dengan pemain-pemain sepakbola yang berbakat. Tetapi, Papua terkenal juga dengan konflik tidak berkesudahan, kemiskinan dan kurang pendidikan.

Salah siapa? pemerintah pusat? pemerintah daerah? atau salah masyarakatnya sendiri? buat saya yang terjadi di papua adalah bukan salah siapa-siapa, toh.. kesalahan tidak penting karena tidak membantu apa-apa. Saya yakin tentang apa yang terjadi di papua adalah proses kemajuan suatu bangsa dalam hal ini kemajuan masyarakat papua.

Tentu ada yang salah di papua selama ini sehingga konflik yang terjadi seakan-akan tidak berujung dan terus menerus terjadi. Sebenarnya perlu keseriusan dan kesungguhan hati untuk membenahi masalah yang terjadi di Papua. Keseriusan dan kesungguhan hati untuk menyelesaikan konflik dan membangun Papua hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar mencintai papua dan yang mempunyai hati untuk papua, yang mencintai orang papua seperti mencintai saudaranya sendiri, yang mencintai tanah papua seperti mencintai tanahnya sendiri, dan memandang orang papua bukan sebagai obyek tetapi sebagai saudara, dan yang ikut merasakan penderitaan masyarakat, bukan yang hadir hanya untuk memberikan solusi instan. Orang yang memiliki hati seperti ini adalah putri-putri Papua itu sendiri.

Sebagai warga negara Indonesia, masyarakat Papua perlu merasakan hadirnya negara dalam kehidupan mereka. Bukan seperti pada film denias dan Di Timur Matahari yang merupakan gambaran real kehidupan di papua, dimana menurut saya peran negara tidak terlihat secara signifikan dalam kehidupan masyarakat Papua. Kehadiran negara harus diimplementasikan secara konkrit lewat pendidikan yang layak, infrastruktur yang memadai, kesehatan dan lain sebagainya, bukan hanya lewat aparat negara seperti TNI/POLRI. Kehadiran aparat negara dalam kehidupan masyarakat Papua (dibeberapa tempat di papua), dianggap sebagai kehadiran "orang asing", karena Negara "belum hadir" secara konkrit dalam kehidupan mereka, hal tersebut yang menurut hemat saya banyak menimbulkan konflik antara aparat dan masyarakat di Papua.

Sekarang apa yang harus dilakukan? pemerintah harus mencerdaskan kehidupan orang papua (sampai ke pedalaman) dengan membuka kesempatan kepada mereka untuk memperoleh pendidikan yang tinggi, bukankah hal tersebut merupakan cita-cita bangsa yang tercantum dalam undang-undang. Untuk putri-putri Papua, belajarlah dengan giat dari kesempatan yang sudah didapat, masa depan Papua ada di tangan putra-putri Papua, bukan orang lain. Untuk membangun suatu bangsa tidak perlu harus terjun ke politik (seperti iklan di tv), hanya perlu orang yang benar-benar mempunyai hati sungguh-sungguh dan kejujuran. Jadilah orang-orang yang seperti itu.



No comments:

Post a Comment